Cuplikan Pengajian TWU di PH AA/3 Jaksel 17 Maret 2006"MultiKulturisme"
Apakah kita menyadari bahwa Sunnatullah tidak bersifat budaya tunggal, Islam
saja, Kristen saja, Yahudi saja, Hindu saja atau Khonghucu saja ? Tetapi
semuanya itu, Sunnatullah bersifat multikulturisme. Dunia tidak terbentuk oleh
budaya tunggal, melainkan terbentuk oleh keanekaragaman budaya.
Demikian pula Bangsa Indonesia, tidak hanya terbentuk oleh budaya Jawa Islam
saja atau Sunda saja atau Kristen Batak saja, melainkan terbentuk oleh
keanekaragaman budaya itu. 3000 tahun yang lalu Daud a.s. telah sukses
membentuk negeri multikultur Yerusalem dimana Bani Israil dan Bani Yebus
berdampingan secara damai dengan kesadaran multicultur citizen. Bentuk negara
multkulturisme itu semakin sempurna pada zaman Sulaiman dimana semua agama dan
budaya mendapatkan toleransi, dan semua kelompok minoritas mendapatkan
afirmatif dari pemerintah. Nah, dapatkah kita memberikan afirmatif kepada
Ahmadiyah, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu dll ? Kalau jawabannya ya, maka
kita berada di jalur Rahmatan lil Alamien dimana agama merupakan sumber
emansipasi dan kemajuan peradaban. Perhatikan sabda Rasulullah saw: “Qoola man
laa yarhamu, laa yarhamu” : “Siapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi”
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.; H : 1696).
Tapi kalau jawabannya tidak, kita membenarkan tuduhan kalangan freemasonry
yang menganggap agama sebagai hambatan terbesar mental manusia, oleh karena itu
freemasonry berpendapat agama-agama harus dihilangkan perannya dari peradaban
manusia. Perlu diketahui bahwa 95 % atau lebih Al-Qur’an berisi tentang
peradaban dan hanya 5 % atau kurang, berisi tentang peribadatan.
Benturan peradaban.
Sumber utama konflik di dunia baru dewasa ini ternyata bukanlah kepentingan
ekonomi, melainkan budaya yang menjadi factor pemecah belah umat manusia dan
sumber konflik yang dominan, seperti ditunjukkan dalam pertikaian antara
Barat/Amerika Serikat vs Islam. Meskipun negara-bangsa masih merupakan aktor
yang dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global
terjadi diantara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda.
Garis batas peradaban Barat dengan Islam telah membentuk garis konflik sejak
dari Maghribi hingga Pakistan, dengan hot-spot Palestina, Iran, Irak, Syria,
Libya hingga Afganistan dan Pakistan. Meningkatnya pengaruh kaum radikal Islam
di Pakistan dan Indonesia adalah dampak dari benturan peradaban Barat vs Islam
ditingkat global. Demikian pula timbulnya semangat anti Kristen dan anti
Ahmadiyah dikalangan Umat Islam tertentu di Indonesia. Garis batas peradaban
tersebut setiap saat dapat menjelma menjadi garis petempuran.
Apakah konflik antara peradaban Barat vs Islam tsb harus dicegah atau harus
dilalui untuk menjadi bagian dari proses tahap akhir evolusi konflik dan
perubahan di dunia modern ? Barat sendiri setelah berhasil mengalahkan Angkatan
Perang Irak yang merupakan kekuatan militer terbesar di Arab, agaknya tidak
ragu-ragu dalam melancarkan tekanan terhadap dunia Arab dan Islam yang sudah
tentu akan melahirkan perlawanan secara simultan yang dapat dengan cepat
mengobarkan perang dalam skala dunia.
Suatu kenyataan dengan berakhirnya Perang Dingin, politik internasional
bergerak keluar dari fase Barat, dan titik fokusnya beralih ke interaksi antara
peradaban Barat dan non-Barat, khususnya Islam. Bentuknya menjadi semakin tajam
setelah serangan 11 September 2001, yang sekaligus menghamparkan suatu babak
baru dalam sejarah Amerika Serikat, dunia dan hubungan diantara mereka.
Tiba-tiba semuanya berubah sama sekali. Perang baru antara Israel dengan
Jihad Islam adalah sinyal kemungkinan berkobarnya perang antara Barat vs Islam.
Medan perang
yang mungkin berkobar adalah Teluk Parsi dan Palestina yang bila terjadi akan
melibatkan sentimen peradaban secara luas dalam skala Perang Dunia. Ini berarti
rencana Albert Pike berhasil dan prediksi Samuel P Huntington tentang perang
peradaban sebagai model Perang Dunia ke III bakal terbukti.
Satu-satunya jalan menuju keselamatan bersama, ialah kesadaran tentang
Sunnatullah yang bersifat multikulturisme. Jika semua pihak menyadari bahwa
dunia harus terbentuk oleh keanekaragaman budaya, agar saling mengasihi
sebagaimana sabda Rasulullah saw tadi, maka sesungguhnya tidak ada kebutuhan
berperang atas nama keunggulan budaya dan peradaban masing-masing atau atas
nama proses evolusi perubahan dunia modern sekalipun. Demikian pula di Indonesia, jika
kita menyadari bahwa negara bangsa ini tidak mungkin dibentuk hanya oleh budaya
tunggal, melainkan oleh keanekaragaman budaya, maka prinsip multicultur citizen
menjadi keniscayaan yang hakiki, dan kekuatan yang terpenting dan terbesar
bangsa kita.
Siapakah yang akan memenangkan Perang Peradaban jika itu terjadi ?
Pemenangnya adalah peradaban yang lebih unggul. Menurut Huntington peradaban
Barat lebih unggul daripada peradaban Islam. Tetapi jika Kaum Muslimin ternyata
memilih dialog, mengembangkan sikap moderat, menghormati multikulturisme,
bersikap liberal-humanis, maka Islam akan memimpin perdamaian dan memimpin
peradaban dunia baru. Kita mulai dari Indonesia, insya Allah.
Sekian, kita lanjutkan Jum’at depan,
Terima kasih,
Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 17
Maret 2006,
Pengasuh,
K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.